Translate

Jumat, 22 November 2013

Kajian Wacana : Bagian Referensi dan Inferensi



Kajian Wacana : Bagian Referensi dan Inferensi

BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Melihat fenomena yang terjadi dalam tindak tutur dalam kehidupan masyarakat sehari-hari mengenai pemikiran kita tentang suatu hal dan cara mengambil suatu simpulan atau interpernsi yang berupa anggapan atau argumen terhadap apa yang disampaikan oleh penutur. Oleh karena itu, kita sangat penting mengetahui tetang bagaimana kita melakukan pengkodean terhadap bahasa.
Referensi di dalam bahasa yang menyangkut nama diri digunakan sebagai topik baru (untuk memperkenalkan) atau untuk menegaskan bahwa topik masih sama. Topik yang sudah jelas biasanya dihilangkan atau diganti. Pada kalimat yang panjang, biasanya muncul beberapa predikat dengan subjek yang sama dan subjek menjadi topik juga. Subjek hanya disebutkan satu kali pada permulaan kalimat, lalu diganti dengan acuan (referensi) yang sama.
Sedangkan Inferensi adalah membuat simpulan berdasarkan ungkapan dan konteks penggunaannya. Dalam membuat inferensi perlu dipertimbangkan implikatur. Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur).
Kedua istilah ini tidak terlepas dalam percakapan atau tindak tutur dalam kehidupan sehari. Oleh karena itu, kita perlu memahami kedua istilah ini lebih mendalam.

       2 .   Rumusan Masalah
Dari penjabaran latar belakang di atas, penulis dapat merumuskan rumusan masalah yaitu:
1.      Apakah pengertian referensi dan inferensi?
2.      Apa sajakah jenis-jenis referensi dan inferensi?

3.    Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat membantu mahasiswa sebagai referensi kuliah secara 1.Menambah khasanah pengetahuan mengenai referensi dan inferensi dalam tindak tutur  bahasa dalam kehidupa sehari-hari.
2.Bermanfaat untuk dapat mengetahui jenis-jenis referensi maupun inferensi.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Referensi
1. Pengertian Referensi
Pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal atau berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya (Sumarlam, 2003). Menurut Ramlan (1993) yang dimaksud referensi (penunjukan) adalah penggunaan kata atau frasa untuk menunjuk atau mengacu kata, frasa, atau mungkin juga satuan gramatikal yang lain. Dengan demikian, dalam penunjukan terdapat dua unsur, yaitu unsur penunjuk dan unsur tertunjuk. Kedua unsur itu haruslah mengacu pada referen yang sama.
Dalam wacana lisan atau tulisan, kita temukan berbagai unsur seperti pelaku perbuatan. Penderita, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku dan tempat perbuatan. Unsur itu acap kali harus diulang-ulang untuk memacu kembali atau memperjelas makana. Karena itu pemilihan kata serta penempatannya harus benar sehingga wacana tadi tidak hanya kohesif tetapi juga koheren.  Dengan kata lain Referensinya atau pengacuannya harus jelas. Perhatikan yang berikut :

(48) Wati duduk termenung di serambi muka, wajahnya sayu dan matanya tergenang oleh air mata kepedihan. Kata terakhir dari Mas Gomloh telah menyobek – nnyobek keping hatinya yang makin hari makin menipis.
Pada wacana di atas kita temukan dua pelaku perbuatan (1)  Wati yang duduk termenung dan (2) Gomloh yang telah menyobek-nyobek hati Wati. Walaupun demikian, acuan darinya pada wajahnya, matanya dan hatinya adalah Wati, meskipun yang ditempatkan sesudah Gombloh. Penafsiran yang terakhir itu disebabkan oleh kenyataan bahwa Gomloh adalah pelaku yang menyobek – nyobek hati orang dalam wacana itu  tidak lain dari pada Wati. Sisipan Gomloh ternyata mengubah pengacuan dari-nya.
            Di pihak lain, dapat pula terjadi perubahan pengacuan apabila sisipan konsep telah dilakukan. Perhatikan contoh (49) berikut.
(49) (a) Pukul 2.00 malam Ardi baru pulang. (b) Dengan berjingkat – jingkat dia memasuki kamarnya (c) Tentu saja Ibunya tidak terbangun. (d) Tapi memang dasar sial, Bu Rochmah terbangun juga  (e) Dia dari ranjangnya dan dengan mata setengah tertutup menyalakan lampu.
Dari (a) sampai (c) dia dan –nya mengacu ke Ardi. Pada kalimat (d) munculah acuan lain, yakni Bu Rochmah. Karena makna tiap – tiap kata dan kalimat pada (d) dan (e) terbentuklah acuan baru. Dari saat itu dia dan –nya mengacu ke Bu Rocmah dan bukan ke Ardi lagi.
Urutan penempatan pronomina seperti dia dalam kalimat juga dapat membedakan acuan. Perhatikan dua kalimat berikut.
(50)  a.Anwar dan dia pun segera pergi
         b.Dia datang dan Anwar pun segera pergi
Pada (50a) dia sangat mungkin mengacu ke Anwar, sedangkan pada (50 b) Anwar tidak mungkin mempunyai referen yang sama dengan dia.

     2.    Referensi Berdasarkan Tempat Acuannya
Lebih lanjut Sumarlam (2003:23) menegaskan bahwa berdasarkan tempatnya, apakah acuan itu berada di dalam teks atau di luar teks, maka pengacuan dibedakan menjadi dua jenis:
a.       Pengacuan Endofora
b.      Pengacuan Eksofora

a. Pengacuan Endofora
      Referensi ini, apabila acuanya (satuan yang diacu) berada atau terdapat di dalam teks, dan Endofora terbagi atas anafora dan katafora berdasarkan posisi (distribusi) acuannya (referensinya).
1.      Anafora
Merpakan piranti dalam bahasa untuk membuat rujuk silang hal atau kata yang telah dinyatakan sebelumnya. Piranti itu dapat berupa kata ganti persona seperti dia, mereka, konjungsi keterangan waktu, alat dan acara.  Contoh: Bu Mastuti mendapat pekerjaan, padahal dia memperoleh ijazah sejauhnya dua tahun lalu. Pada kata dia beranafora dengan Bu Mastuti.


2.      Katafora  
            Merupakan piranti dalam bahasa yang merujuk slang dengan anteseden yang dibelakngnya. Contoh: Setelah dia masuk, lansung Toni memeluk adiknya.
Salah satu interpretasi dari kalimat di atas ialah bahwa dia merujuk pada Toni miskipun ada kemungkinan interpretasi lain. Gejala pemekain pronominal seperti dia yang merujuk pada anteseden Toni yang berada di sebelah kanannya inilah yang disebut katafora.

b.  Pengacuan Eksofora
Referensi eksofora, apabila acuanya berada atau terdapat di luar teks percakapan.
Contoh: mobil saya kehabisan bensin, dia yang mengisinya.


3.  Referensi Berdasarkan Tipe Satuan Lingual
Tipe Referensi menurut, Halliday dan Hasan (dalam Hartono 2000:147) yaitu:

1. Referensi Personal
Referensi persona mencakup ketiga kelas kata ganti diri yaitu kata ganti orang I, kata ganti orang II, dan kata ganti orang III, termasuk singularis dan pluralisnya. Referensi persona direalisasikan melalui pronomina persona (kata ganti orang). Pronomina persona adalah pronomina yang dipakai untuk mengacu pada orang. Pronomina persona dapat mengacu pada diri sendiri (pronominal persona pertama), mengacu pada orang yang diajak bicara (pronomina persona kedua), atau mengacu pada orang yang dibicarakan (pronomina persona ketiga).
a.  Persona pertama
Persona pertama tunggal dalam bahasa indonesia adalah saya, aku, dan daku. Pronomina persona aku mempunyai variasi bentuk –ku dan  ku-. Di samping persona pertama, di dalam bahasa indonesia juga mengenal persona jamak, yaitu kami, dan kita. Kalimat berikut mengandung persona pertama jamak.
          b.Persona kedua
Persona kedua mempunyai beberapa wujud, yaitu engkau, kamu, anda, dikau, kau-, dan mu-. Persona kedua mempunyai bentuk jamak engkau dan sekalian.
         
c.Persona ketiga
Ada dua macam persona ketiga tunggal, (1) ia, dia, atau –nya, dan (2) beliau. Adapun persona ketiga jamak adalah mereka.
B. Inferensi
Sebuah pekerjaan bagai pendengar (pembaca) yang selalu terlibat dalam tindak tutur selalu harus siap dilaksanakan ialah inferensi. Inferensi dilakukan untuk sampai pada suatu penafsiran makna tentang ungkapan-ungkapan yang diterima dan pembicara atau (penulis). Dalam keadaan bagaimanapun seorang pendengar (pembaca) mengadakan inferensi.
Menurut Moeliono (dalam Mulyana,2005: 19) inferensi yaitu proses yang harus dilakukan pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat di dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis. Pengertian inferensi yang umum ialah proses yang harus dilakukan pembaca (pendengar) untuk melalui makna harfiah tentang apa yang ditulis (diucapkan) sampai pada yang diinginkan oleh seorang penulis (pembicara).
Bisa disimpulakan bahwa Inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis, yaitu dengan membuat simpulan berdasarkan ungkapan dan konteks penggunaannya. Dalam membuat inferensi perlu dipertimbangkan implikatur. Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur). Untuk menarik sebuah kesimpulan (inferensi) perlu kita mengetahui jenis-jenis inferensi, antara lain;
1.      Inferensi Langsung
Inferensi yang kesimpulannya ditarik dari hanya satu premis (proposisi yang digunakan untuk penarikan kesimpulan). Konklusi yang ditarik tidak boleh lebih luas dari premisnya. Contoh: 
Pohon yang di tanam pak Budi setahun lalu hidup.
dari premis tersebut dapat kita lansung menarik kesimpulan (inferensi)
bahwa: pohon yang ditanam pak budi setahun yang lalu tidak mati.


2.      Inferensi Tak Langsung
 Inferensi yang kesimpulannya ditarik dari dua atau lebih premis. Proses akal budi membentuk sebuah proposisi baru atas dasar penggabungan proposisi-preposisi lama.
Contoh:
A : Saya melihat ke dalam kamar itu.
B : Plafonnya sangat tinggi.
Sebagai Inferensi yang menjembatani kedua ujaran tersebut, misalnya:
C: kamar itu memiliki plafon

Contoh yang lain;
a. Sebuah truk datang melaju dan membelok ke kanan
b. Kendaraan itu hampir melanggar tiang listrik
Sebagai Inferensi yang menjembatani kedua ujaran tersebut, misalnya:
c. Truk itu adalah kendaraan

Inferensi terjadi, jika proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat pada tuturan yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis. Pendengar atau pembaca dituntut untuk mampu memahami informasi (maksud) pembicara atau penulis. Contoh :
Orang suatu saat berkunjung ke tetangganya dengan harapan untuk mendapat pinjaman uang. Dalam usahanya itu mungkin sekali itu akan menyatakan wacana berikut :
(51)  Tanggal tua seperti ini repot sekali pak haji bulan lalu sudah habis, istri tidak bisa bekerja dan anak – anak pada sakit yang paling berat yang bungsu Pak. Panas dia naik turun terus selama empat hari ini. Saya tidak tahu apa yang harus saya perbuat.
Dari wacana di atas jelas tidak ada pernyataan bahwa orang itu ingin meminjam uang. Namun sebagai pesapa, kita harus dapat mengambil inferensi apa yang di maksudkannya. Pengambilan inferensi pada umumnya memakan waktu lebih lama daripada penafsiran langsung, yang  tanpa memerlukan inferensi. Hal ini merupakan bukti, ada sesuatu yang tidak disampaikan kepada pembaca atau pendengar.
Inferensi atau kesimpulan sering harus dibuat sendiri oleh pendengar atau pembaca, karena dia tidak mengetahui apa makna yang sebenarnya yang dimaksudkan oleh pembicara/penulis. Karena jalan pikiran pembicara mungkin saja berbeda dengan jalan pikiran pendengar, mungkin saja kesimpulan pendengar meleset atau bahkan salah sama sekali. Apabila ini terjadi maka pendengar harus membuat inferensi lagi.
Contoh (53) lebih lama untuk menafsirkan daripada (52) karena (53) memerlukan untuk mengadakan inferensi atau menyimpulkan berdua tahap.
(52)  a. Mereka mengeluarkan makanan dalam perjalanan itu
         b. Mendoanya sudah tidak hangat lagi
          (53)  a. Mereka mengeluarkan persendian dalam perjalanan itu
          b. Mendoanya sudag tidak hangat lagi.
Pada (52) hubungan semantik antara makananan dan mendoan dapat lebih cepat dirasakan. Sebaliknya pada (53) hubungan antara persediaan mencakup hal lain disamping makanan.











BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Referensi  yang digunakan dalam bahasa adalah unsur-unsur yang disebut pelaku atau perbuatan, penderita perbuatan (pengalami), pelengkap perbuatan dan perbuatan yang dilakukan pelaku, serta tempat perbuatan dapat kita temukan, baik pada wacana lisan maupun tulis. Unsur tersebut sering diulang untuk memperjelas makna, dan sebagai acuan (referensi). Karena itu, pemilihan kata serta penempatannya harus benar sehingga wacana tadi tidak hanya kohesif, tetapi juga koheren. Dengan kata lain, referensinya atau pengacuannya harus jelas.
Sedangkan Inferensi merupakan proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis. Pendengar atau pembaca dituntut untuk mampu memahami informasi (maksud) pembicara atau penulis.

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis berharap agar makalah ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi  atau acuan bagi pembaca dalam melakukan penelitian yang lebih luas dan dapat memperkaya khazanah tentang referensi dan inferensi kewacanaan.










DAFTAR PUSTAKA


Mulyana. 2005. Kajian Wacana: teori metode dan Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Tugiati, Tutut. 2004. Wacana Bahasa Indonesia. Purwokerto : Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

1 komentar: