Kajian Wacana : Bagian Referensi dan
Inferensi
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Melihat fenomena yang terjadi dalam
tindak tutur dalam kehidupan masyarakat sehari-hari mengenai pemikiran kita
tentang suatu hal dan cara mengambil suatu simpulan atau interpernsi yang
berupa anggapan atau argumen terhadap apa yang disampaikan oleh penutur. Oleh
karena itu, kita sangat penting mengetahui tetang bagaimana kita melakukan
pengkodean terhadap bahasa.
Referensi di dalam bahasa yang
menyangkut nama diri digunakan sebagai topik baru (untuk memperkenalkan) atau
untuk menegaskan bahwa topik masih sama. Topik yang sudah jelas biasanya
dihilangkan atau diganti. Pada kalimat yang panjang, biasanya muncul beberapa
predikat dengan subjek yang sama dan subjek menjadi topik juga. Subjek hanya disebutkan satu kali
pada permulaan kalimat, lalu diganti dengan acuan (referensi) yang sama.
Sedangkan
Inferensi adalah membuat simpulan berdasarkan ungkapan dan konteks
penggunaannya. Dalam membuat inferensi perlu dipertimbangkan implikatur.
Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan
oleh apa yang terkatakan (eksplikatur).
Kedua
istilah ini tidak terlepas dalam percakapan atau tindak tutur dalam kehidupan
sehari. Oleh karena itu, kita perlu memahami kedua istilah ini lebih mendalam.
2 . Rumusan Masalah
Dari penjabaran latar belakang di atas,
penulis dapat merumuskan rumusan masalah yaitu:
1.
Apakah pengertian referensi dan inferensi?
2.
Apa sajakah jenis-jenis referensi dan
inferensi?
3.
Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat membantu
mahasiswa sebagai referensi kuliah secara 1.Menambah khasanah pengetahuan mengenai referensi dan
inferensi dalam tindak tutur bahasa
dalam kehidupa sehari-hari.
2.Bermanfaat
untuk dapat mengetahui jenis-jenis referensi maupun inferensi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Referensi
1. Pengertian Referensi
Pengacuan atau referensi
adalah salah satu jenis kohesi gramatikal atau berupa satuan lingual tertentu
yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau
mengikutinya (Sumarlam, 2003). Menurut Ramlan (1993) yang dimaksud referensi
(penunjukan) adalah penggunaan kata atau frasa untuk menunjuk atau mengacu
kata, frasa, atau mungkin juga satuan gramatikal yang lain. Dengan demikian,
dalam penunjukan terdapat dua unsur, yaitu unsur penunjuk dan unsur tertunjuk.
Kedua unsur itu haruslah mengacu pada referen yang sama.
Dalam wacana lisan atau tulisan, kita temukan
berbagai unsur seperti pelaku perbuatan. Penderita, perbuatan yang dilakukan
oleh pelaku dan tempat perbuatan. Unsur itu acap kali harus diulang-ulang untuk
memacu kembali atau memperjelas makana. Karena itu pemilihan kata serta
penempatannya harus benar sehingga wacana tadi tidak hanya kohesif tetapi juga
koheren. Dengan kata lain Referensinya
atau pengacuannya harus jelas. Perhatikan yang berikut :
(48) Wati duduk
termenung di serambi muka, wajahnya sayu dan matanya tergenang oleh air mata
kepedihan. Kata terakhir dari Mas Gomloh telah menyobek – nnyobek keping
hatinya yang makin hari makin menipis.
Pada
wacana di atas kita temukan dua pelaku perbuatan (1) Wati yang duduk termenung dan (2) Gomloh yang
telah menyobek-nyobek hati Wati. Walaupun demikian, acuan darinya pada
wajahnya, matanya dan hatinya adalah Wati, meskipun yang ditempatkan sesudah
Gombloh. Penafsiran yang terakhir itu disebabkan oleh kenyataan bahwa Gomloh
adalah pelaku yang menyobek – nyobek hati orang dalam wacana itu tidak lain dari pada Wati. Sisipan Gomloh
ternyata mengubah pengacuan dari-nya.
Di pihak lain, dapat pula terjadi
perubahan pengacuan apabila sisipan konsep telah dilakukan. Perhatikan contoh
(49) berikut.
(49) (a) Pukul 2.00 malam Ardi baru
pulang. (b) Dengan berjingkat – jingkat dia memasuki kamarnya (c) Tentu saja
Ibunya tidak terbangun. (d) Tapi memang dasar sial, Bu Rochmah terbangun
juga (e) Dia dari ranjangnya dan dengan
mata setengah tertutup menyalakan lampu.
Dari
(a) sampai (c) dia dan –nya mengacu ke Ardi. Pada kalimat (d) munculah acuan
lain, yakni Bu Rochmah. Karena makna tiap – tiap kata dan kalimat pada (d) dan
(e) terbentuklah acuan baru. Dari saat itu dia dan –nya mengacu ke Bu Rocmah
dan bukan ke Ardi lagi.
Urutan
penempatan pronomina seperti dia dalam kalimat juga dapat membedakan acuan.
Perhatikan dua kalimat berikut.
(50) a.Anwar dan dia pun segera pergi
b.Dia datang dan Anwar pun segera
pergi
Pada
(50a) dia sangat mungkin mengacu ke Anwar, sedangkan pada (50 b) Anwar tidak
mungkin mempunyai referen yang sama dengan dia.
2. Referensi Berdasarkan Tempat
Acuannya
Lebih
lanjut Sumarlam (2003:23) menegaskan bahwa berdasarkan tempatnya, apakah acuan
itu berada di dalam teks atau di luar teks, maka pengacuan dibedakan menjadi
dua jenis:
a.
Pengacuan
Endofora
b.
Pengacuan
Eksofora
a. Pengacuan Endofora
Referensi ini, apabila acuanya
(satuan yang diacu) berada atau terdapat di dalam teks, dan Endofora terbagi
atas anafora dan katafora berdasarkan posisi (distribusi) acuannya
(referensinya).
1. Anafora
Merpakan
piranti dalam bahasa untuk membuat rujuk silang hal atau kata yang telah
dinyatakan sebelumnya. Piranti itu dapat berupa kata ganti persona seperti dia,
mereka, konjungsi keterangan waktu, alat dan acara. Contoh: Bu Mastuti
mendapat pekerjaan, padahal dia memperoleh ijazah sejauhnya dua
tahun lalu. Pada kata dia beranafora dengan Bu Mastuti.
2. Katafora
Merupakan piranti dalam bahasa yang
merujuk slang dengan anteseden yang dibelakngnya. Contoh: Setelah dia
masuk, lansung Toni memeluk adiknya.
Salah satu
interpretasi dari kalimat di atas ialah bahwa dia merujuk pada Toni
miskipun ada kemungkinan interpretasi lain. Gejala pemekain pronominal seperti dia
yang merujuk pada anteseden Toni yang berada di sebelah kanannya inilah
yang disebut katafora.
b. Pengacuan Eksofora
Referensi
eksofora, apabila acuanya berada atau terdapat di luar teks percakapan.
Contoh: mobil saya kehabisan bensin,
dia yang mengisinya.
3.
Referensi Berdasarkan Tipe Satuan Lingual
Tipe
Referensi menurut, Halliday dan Hasan (dalam Hartono 2000:147) yaitu:
1. Referensi Personal
Referensi
persona mencakup ketiga kelas kata ganti diri yaitu kata ganti orang I, kata
ganti orang II, dan kata ganti orang III, termasuk singularis dan pluralisnya.
Referensi persona direalisasikan melalui pronomina persona (kata ganti orang).
Pronomina persona adalah pronomina yang dipakai untuk mengacu pada orang.
Pronomina persona dapat mengacu pada diri sendiri (pronominal persona pertama),
mengacu pada orang yang diajak bicara (pronomina persona kedua), atau mengacu
pada orang yang dibicarakan (pronomina persona ketiga).
a. Persona pertama
Persona pertama
tunggal dalam bahasa indonesia adalah saya, aku, dan daku.
Pronomina persona aku mempunyai variasi bentuk –ku dan ku-. Di samping persona pertama, di
dalam bahasa indonesia juga mengenal persona jamak, yaitu kami, dan kita.
Kalimat berikut mengandung persona pertama jamak.
b.Persona kedua
Persona
kedua mempunyai beberapa wujud, yaitu engkau, kamu, anda, dikau, kau-, dan
mu-. Persona kedua mempunyai bentuk jamak engkau dan sekalian.
c.Persona ketiga
Ada dua
macam persona ketiga tunggal, (1) ia, dia, atau –nya, dan (2) beliau.
Adapun persona ketiga jamak adalah mereka.
B. Inferensi
Sebuah pekerjaan bagai pendengar
(pembaca) yang selalu terlibat dalam tindak tutur selalu harus siap
dilaksanakan ialah inferensi. Inferensi dilakukan untuk sampai pada suatu
penafsiran makna tentang ungkapan-ungkapan yang diterima dan pembicara atau
(penulis). Dalam keadaan bagaimanapun seorang pendengar (pembaca) mengadakan
inferensi.
Menurut Moeliono (dalam
Mulyana,2005: 19) inferensi yaitu proses yang harus dilakukan pembaca untuk
memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat di dalam wacana yang
diungkapkan oleh pembicara atau penulis. Pengertian inferensi yang umum ialah
proses yang harus dilakukan pembaca (pendengar) untuk melalui makna harfiah
tentang apa yang ditulis (diucapkan) sampai pada yang diinginkan oleh seorang
penulis (pembicara).
Bisa disimpulakan bahwa Inferensi adalah proses yang
harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna secara harfiah
tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis, yaitu
dengan membuat simpulan berdasarkan
ungkapan dan konteks penggunaannya. Dalam membuat inferensi perlu
dipertimbangkan implikatur. Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna
tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur). Untuk menarik
sebuah kesimpulan (inferensi) perlu kita mengetahui jenis-jenis inferensi,
antara lain;
1. Inferensi Langsung
Inferensi
yang kesimpulannya ditarik dari hanya satu premis (proposisi yang digunakan
untuk penarikan kesimpulan). Konklusi yang ditarik tidak boleh lebih luas dari
premisnya. Contoh:
Pohon yang di tanam pak Budi setahun
lalu hidup.
dari premis tersebut dapat kita
lansung menarik kesimpulan (inferensi)
bahwa: pohon yang ditanam pak budi
setahun yang lalu tidak mati.
2.
Inferensi
Tak Langsung
Inferensi yang kesimpulannya ditarik dari dua atau lebih
premis. Proses akal budi membentuk sebuah proposisi baru atas dasar
penggabungan proposisi-preposisi lama.
Contoh:
A
: Saya melihat ke dalam kamar itu.
B
: Plafonnya sangat tinggi.
Sebagai
Inferensi yang menjembatani kedua ujaran tersebut, misalnya:
C:
kamar itu memiliki plafon
Contoh
yang lain;
a. Sebuah truk datang melaju dan membelok ke kanan
b. Kendaraan itu hampir melanggar tiang listrik
Sebagai
Inferensi yang menjembatani kedua ujaran tersebut, misalnya:
c. Truk itu adalah kendaraan
Inferensi terjadi, jika proses yang
harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna yang secara
harfiah tidak terdapat pada tuturan yang diungkapkan oleh pembicara atau
penulis. Pendengar atau pembaca dituntut untuk mampu memahami informasi
(maksud) pembicara atau penulis. Contoh :
Orang
suatu saat berkunjung ke tetangganya dengan harapan untuk mendapat pinjaman
uang. Dalam usahanya itu mungkin sekali itu akan menyatakan wacana berikut :
(51)
Tanggal tua seperti ini repot sekali pak haji bulan lalu sudah habis,
istri tidak bisa bekerja dan anak – anak pada sakit yang paling berat yang
bungsu Pak. Panas dia naik turun terus selama empat hari ini. Saya tidak tahu
apa yang harus saya perbuat.
Dari
wacana di atas jelas tidak ada pernyataan bahwa orang itu ingin meminjam uang.
Namun sebagai pesapa, kita harus dapat mengambil inferensi apa yang di maksudkannya. Pengambilan inferensi pada
umumnya memakan waktu lebih lama daripada penafsiran langsung, yang tanpa memerlukan inferensi. Hal ini merupakan
bukti, ada sesuatu yang tidak disampaikan kepada pembaca atau pendengar.
Inferensi atau kesimpulan sering
harus dibuat sendiri oleh pendengar atau pembaca, karena dia tidak mengetahui
apa makna yang sebenarnya yang dimaksudkan oleh pembicara/penulis. Karena jalan
pikiran pembicara mungkin saja berbeda dengan jalan pikiran pendengar, mungkin
saja kesimpulan pendengar meleset atau bahkan salah sama sekali. Apabila ini
terjadi maka pendengar harus membuat inferensi lagi.
Contoh
(53) lebih lama untuk menafsirkan daripada (52) karena (53) memerlukan untuk mengadakan
inferensi atau menyimpulkan berdua tahap.
(52)
a. Mereka mengeluarkan makanan dalam
perjalanan itu
b. Mendoanya sudah tidak hangat lagi
(53) a. Mereka mengeluarkan persendian dalam
perjalanan itu
b. Mendoanya sudag tidak hangat lagi.
Pada
(52) hubungan semantik antara makananan dan mendoan dapat lebih cepat
dirasakan. Sebaliknya pada (53) hubungan antara persediaan mencakup hal lain
disamping makanan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Referensi yang digunakan dalam
bahasa adalah unsur-unsur yang disebut pelaku atau perbuatan, penderita
perbuatan (pengalami), pelengkap perbuatan dan perbuatan yang dilakukan pelaku,
serta tempat perbuatan dapat kita temukan, baik pada wacana lisan maupun tulis.
Unsur tersebut sering diulang untuk memperjelas makna, dan sebagai acuan
(referensi). Karena itu, pemilihan kata serta penempatannya harus benar
sehingga wacana tadi tidak hanya kohesif, tetapi juga koheren. Dengan kata
lain, referensinya atau pengacuannya harus jelas.
Sedangkan Inferensi merupakan proses yang harus dilakukan
oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak
terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis. Pendengar
atau pembaca dituntut untuk mampu memahami informasi (maksud) pembicara atau
penulis.
B. Saran
Dalam penulisan
makalah ini, penulis berharap agar makalah ini dapat dimanfaatkan sebagai
referensi atau acuan bagi pembaca dalam melakukan penelitian yang lebih
luas dan dapat memperkaya khazanah tentang referensi dan inferensi kewacanaan.
DAFTAR PUSTAKA
Mulyana.
2005. Kajian Wacana: teori metode dan Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana.
Yogyakarta : Tiara Wacana.
Tugiati,
Tutut. 2004. Wacana Bahasa Indonesia. Purwokerto : Universitas Muhammadiyah
Purwokerto.