Analisis
Cerpen secara Sosiologi Sastra Hegemoni Gramsci
ORANG
BESAR
Jujur
Prananto
Latar
sosial cerpen “Orang Besar” Karya Jujur Prananto terjadi pada masyarakat
golongan kelas bawah dalam konteks pemerintahan orde baru. Hal ini terbukti
dengan adanya realita yang menunjukan adanya kelompok social masyarakat, antara kelompok
social miskin yang lebih mayoritas dari masyarakat kelas dominan, begitu juga
adanya fakta tentang kewenangan dan kesemena-menaan sebagai cara utama
pemerintah untuk melarang maupun menyetujui suatu tindakan rakyatnya.
Kelas
atas disini diduduki oleh pemerintahan diantaranya kepala desa dan carik
Dirgono, yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur masyarakatnya,
sedangkan kelas bawah ditempati oleh keluarga Wasito dan istrinya yang bernama
Sukini yang hidup miskin dan terlilit hutang. Namun diantara kedua status
social yang berbeda tetap terjalin selaras, dikarenakan kelas social ini memang
sudah sebuah kewajaran dalam kehidupan bermasyarakat antara yang diatur dan
mengatur yakni dalam suatu system pemerintahan. Hal ini terjadi juga
dikarenakan karena ideologi kemanusiaan sebagai kesadaran hidup bersama mengikat
dan menyemen antara kedua kelas tersebut yaitu antara kehidupan rakyat dan
pemerintah.
Melalui
hegemoni yang diikat oleh ideologi kemanusiaan inilah, maka kelas atas dan
kelas bawah hidup berdampingan. Namun dalam rasa kepatuhan kelas bawah, ini
sebagai jalan masuk serta akses agar dalam pemerintahan, terbentuk hegemoni
agar kelas social subordinat secara sukarela patuh terhadap dominasi kekuasaan,
hingga timbul suatu ketentuan yang tadinya secara sukarela harus diterima oleh
kelas bawah, menjadi harus dilakukan
meskipun terkadang tidak sesuai dengan harapan masyarakatnya, maka
muncul istilah “asal bapak senang”
Relasi social yang harmoni antara kelas
dominan yang direpresantasikan oleh kelas atas Pak Carik Dirgono dan bawah
Keluarga Warsito mendapat konflik saat suatu ketika Pak Dir menagih utang,namun
karena Wasito masih belum punya uang, ia berpikir akan menagih utang pada
Mulawarman calon Bupati yang kebetulan akan berkunjung kedesanya, namun dilarang Pak
Kades karena akan merusak reputasi calon bupati tersebut.
Ini terbukti ketika saat Wasito mau menagih
utang kepada Mulawarman yang telah menjadi orang besar dilarang oleh pak lurah.
“Nah,
sebagai pimpinan sekaligus Pembina stabilitas politik di desa ini, terus terang
saya tidak ingin terjadi, seorang calon bupati berkunjung kemari disambut
tagihan utang pleh warga. Paham apa yang saya maksud?”
Kejadian
tersebut merupakan tindakan represif terhadap Wasito karena salah satu cara
pemerintah agar Wasito tidak bertindak adalah pengkucilan terhadap dirinya, dan
mengupayakan berbagai cara seperti, menganggap Wasito tidak punya malu
dihadapan warganya karena ia berani menagih hutang kepada orang besar berstatus
calon bupati, dan di sini agen-agen hegemoni dilakukan oleh individu kelas
social dominan, yang sekaligus menduduki posisi sebagai intelektual organik
seperti aparatur pemerintahan. Intelektual organic (aparat pemerintah) di sini
disebutkan ketika berhasil mendistribusikan suatu ideologi kepada masyarakat
melalui berbagai aktivitas sosial berupa mempengaruhi warga yang menyatakan
bahwa Wasito tidak punya rasa malu karena mencoba mengih utang terhadap orang
yang disegani sehingga Wasito dijauhi dan dikucilkan.
Keberhasilan
pemerintah menghegemoni warganya untuk tidak membela Wasito, tereksplisit
secara rasional karena tentu seorang warga taat dan tunduk karena menbalas
jasa-jasa yang telah diberikan pemerinta,seperti mendapat perlindungan dari
pemerintah dan mungkin juga jasa-jasa lain yang telah diterima warga, selama
Kades tersebut menjabat. Sehingga kebaikan-kebaikan yang sudah diberikan
dibalas dengan suatu kepatuhan kepada semua perintah berupa berhasilnya
tindakan pak Kades membuat Wasito terkucilkan oleh warganya.
Tetapi
disini juga menunjukan betapa rasa solidaritas antar warga kalangan bawah yang
sangart memprihatinkan dengan menelan dan membabi buta hegemoni dari
pemerintah, karena sebenarnya Wasito melakukan hal demikian pun karena ia
memiliki alasan yang kuat karena memang faktor kebutuhan akan uang. Hal ini
tentu salah satu konflik ekternal yang terjadi antar warga karena perekat
relasi antar kelas bawah berupa rasa kemanusiaan solidaritas tidak terhubung
dengan baik akibat pintarnya pemerintah menhegemoni rakyatnya.
Imbasnya, kesadaran kelas, yaitu kesadaran
terhadap keberadaannya yang selalu menjadi warga dibawah kendali pemerintah
menjadi objek perlakuan ketidakadilan, sedangkan jika melihat Pak Carik Dirgono yang selalu menagih Wasito
tak memandang ia rakyat mampu atau tidak mampu, ia tidak acuh atas kondisi yang
dialami wasito, sedangkan ketika wasito menagih utang pada orang yang
dianggapnya memiliki status sosial yang tinggi darinya, ia dilarang.
“Sebagai orang yang punya piutang saya pasti senang Pak wasito bisa segera melunasi. Tapi sebagai aparat kelurahan saya tegas-tegas melarang kalau Pak Wasito mendapatkan uang pelunasan itu dengan mengganggu Pak Mulawarman. Sebab melihat kedudukan yang dijabatnya sekarang, orang pasti percaya kalau beliau punya utang. Artinya, kalau pak Wasito nekat menagih, salah-salah malah dianggap mengada-ada. Atau lebih parahnya lagi dituduh mencemarkan nama baik Pak Mulawarman.”
“Sebagai orang yang punya piutang saya pasti senang Pak wasito bisa segera melunasi. Tapi sebagai aparat kelurahan saya tegas-tegas melarang kalau Pak Wasito mendapatkan uang pelunasan itu dengan mengganggu Pak Mulawarman. Sebab melihat kedudukan yang dijabatnya sekarang, orang pasti percaya kalau beliau punya utang. Artinya, kalau pak Wasito nekat menagih, salah-salah malah dianggap mengada-ada. Atau lebih parahnya lagi dituduh mencemarkan nama baik Pak Mulawarman.”
Dan
Justru dalam cerpen ini anggota masyarakat (Wasito) tersakiti dan tidak
mendapat ketidakadilan, ia semakin tertindas karena ia sama sekali tidak dapat membangun
suatu aliansi antar warga untuk protes atas dasar penindasan dan ketidakadilan
terhadap dirinya karena rasa kesolidaritasan antar sesama warga miskin malah
tertutup oleh pengaruh hegemoni pemerintah sehingga warga lain memandang wasito
sebagai pengahasut. seperti cuplikan cerpen berikut ketika Pak Lurah berusaha
membuat warga lain untuk tidak percaya terhadap Wasito.
“Apa
Pak Wasito punya bukti”
Wasito
terdiam. Kalau sudah sampai urusan bukti ia menyerah. Dan buntut dari sikapnya
ini gampang ditebak. Pak Dirgono melaporkan semuanya kepada Pak Lurah. Pak
Lurah pun segera memberikan peringatan keras pada Wasito dan bahkan meminta
kepada seluruh warga desa supaya menjauhi Wasito agar “tidak terpengaruh oleh
segala macam hasutanya”
Artinya
Masyarakat yang pada awalnya memiliki pengetahuan yang sama tentang solidaritas
kemanusiaan sebagai ideologi yang menyemen hubungan antar kelas berubah setelah
kalah dengan hegemoni Pak Lurah terhadap mereka ditambah, rasa hormat yang
lebih besar terhadap agen pemerintah dari pada Wasito yang hanya warga biasa.
Tema
ini lahir berkaitan dengan latar sosial pemerintah orde baru yang menyangkut ungkapan
“asal bapak senang”. Pemerintahan yang semena-mena terhadap rakyat miskin,
tidak mempedulikan haknya, dan menutupi semua masalah dengan tindakan-tindakan
represif terhadap warganya yang melawan, bahkan bila perlu mengerahkan
agen-agen hegemoninya untuk mengkucilkan warganya yang tidak patuh dan merusak
rencana pemerintah.
Dan klimaknya,
mencari muka kepada masyarakat kalangan bawah dengan menghalalkan berbagai
cara, baik dari popularitas, memperdengarkan visi dan misi yang toh pada
akhirnya tidak terlaksana. Seperti yang dilakukan Mulawarman dengan mendatangi desa-desa
dengan tujuan politik menarik simpati warga. Karena memang dalam cerita
disebutkan bahwa Dia sebentar lagi akan menjadi calon gubernur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar