Translate

Senin, 16 Desember 2013

Analisis Cerpen secara Sosiologi Sastra Hegemoni Gramsci



Analisis Cerpen secara Sosiologi Sastra Hegemoni Gramsci
ORANG BESAR
Jujur Prananto

Latar sosial cerpen  “Orang Besar”  Karya Jujur Prananto terjadi pada masyarakat golongan kelas bawah dalam konteks pemerintahan orde baru. Hal ini terbukti dengan adanya realita yang menunjukan adanya  kelompok social masyarakat, antara kelompok social miskin yang lebih mayoritas dari masyarakat kelas dominan, begitu juga adanya fakta tentang kewenangan dan kesemena-menaan sebagai cara utama pemerintah untuk melarang maupun menyetujui suatu tindakan rakyatnya.
Kelas atas disini diduduki oleh pemerintahan diantaranya kepala desa dan carik Dirgono, yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur masyarakatnya, sedangkan kelas bawah ditempati oleh keluarga Wasito dan istrinya yang bernama Sukini yang hidup miskin dan terlilit hutang. Namun diantara kedua status social yang berbeda tetap terjalin selaras, dikarenakan kelas social ini memang sudah sebuah kewajaran dalam kehidupan bermasyarakat antara yang diatur dan mengatur yakni dalam suatu system pemerintahan. Hal ini terjadi juga dikarenakan karena ideologi kemanusiaan sebagai kesadaran hidup bersama mengikat dan menyemen antara kedua kelas tersebut yaitu antara kehidupan rakyat dan pemerintah.
Melalui hegemoni yang diikat oleh ideologi kemanusiaan inilah, maka kelas atas dan kelas bawah hidup berdampingan. Namun dalam rasa kepatuhan kelas bawah, ini sebagai jalan masuk serta akses agar dalam pemerintahan, terbentuk hegemoni agar kelas social subordinat secara sukarela patuh terhadap dominasi kekuasaan, hingga timbul suatu ketentuan yang tadinya secara sukarela harus diterima oleh kelas bawah, menjadi harus dilakukan  meskipun terkadang tidak sesuai dengan harapan masyarakatnya, maka muncul istilah “asal bapak senang”
 Relasi social yang harmoni antara kelas dominan yang direpresantasikan oleh kelas atas Pak Carik Dirgono dan bawah Keluarga Warsito mendapat konflik saat suatu ketika Pak Dir menagih utang,namun karena Wasito masih belum punya uang, ia berpikir akan menagih utang pada Mulawarman calon Bupati yang kebetulan  akan berkunjung kedesanya, namun dilarang Pak Kades karena akan merusak reputasi calon bupati tersebut.
 Ini terbukti ketika saat Wasito mau menagih utang kepada Mulawarman yang telah menjadi orang besar dilarang oleh pak lurah.
“Nah, sebagai pimpinan sekaligus Pembina stabilitas politik di desa ini, terus terang saya tidak ingin terjadi, seorang calon bupati berkunjung kemari disambut tagihan utang pleh warga. Paham apa yang saya maksud?”
Kejadian tersebut merupakan tindakan represif terhadap Wasito karena salah satu cara pemerintah agar Wasito tidak bertindak adalah pengkucilan terhadap dirinya, dan mengupayakan berbagai cara seperti, menganggap Wasito tidak punya malu dihadapan warganya karena ia berani menagih hutang kepada orang besar berstatus calon bupati, dan di sini agen-agen hegemoni dilakukan oleh individu kelas social dominan, yang sekaligus menduduki posisi sebagai intelektual organik seperti aparatur pemerintahan. Intelektual organic (aparat pemerintah) di sini disebutkan ketika berhasil mendistribusikan suatu ideologi kepada masyarakat melalui berbagai aktivitas sosial berupa mempengaruhi warga yang menyatakan bahwa Wasito tidak punya rasa malu karena mencoba mengih utang terhadap orang yang disegani sehingga Wasito dijauhi dan dikucilkan.
Keberhasilan pemerintah menghegemoni warganya untuk tidak membela Wasito, tereksplisit secara rasional karena tentu seorang warga taat dan tunduk karena menbalas jasa-jasa yang telah diberikan pemerinta,seperti mendapat perlindungan dari pemerintah dan mungkin juga jasa-jasa lain yang telah diterima warga, selama Kades tersebut menjabat. Sehingga kebaikan-kebaikan yang sudah diberikan dibalas dengan suatu kepatuhan kepada semua perintah berupa berhasilnya tindakan pak Kades membuat Wasito terkucilkan oleh warganya.
Tetapi disini juga menunjukan betapa rasa solidaritas antar warga kalangan bawah yang sangart memprihatinkan dengan menelan dan membabi buta hegemoni dari pemerintah, karena sebenarnya Wasito melakukan hal demikian pun karena ia memiliki alasan yang kuat karena memang faktor kebutuhan akan uang. Hal ini tentu salah satu konflik ekternal yang terjadi antar warga karena perekat relasi antar kelas bawah berupa rasa kemanusiaan solidaritas tidak terhubung dengan baik akibat pintarnya pemerintah menhegemoni rakyatnya.
 Imbasnya, kesadaran kelas, yaitu kesadaran terhadap keberadaannya yang selalu menjadi warga dibawah kendali pemerintah menjadi objek perlakuan ketidakadilan, sedangkan jika melihat  Pak Carik Dirgono yang selalu menagih Wasito tak memandang ia rakyat mampu atau tidak mampu, ia tidak acuh atas kondisi yang dialami wasito, sedangkan ketika wasito menagih utang pada orang yang dianggapnya memiliki status sosial yang tinggi darinya, ia dilarang.

“Sebagai orang yang punya piutang saya pasti senang Pak wasito bisa segera melunasi. Tapi sebagai aparat kelurahan saya tegas-tegas melarang kalau Pak Wasito mendapatkan uang pelunasan itu dengan mengganggu Pak Mulawarman. Sebab melihat kedudukan yang dijabatnya sekarang, orang pasti percaya kalau beliau punya utang. Artinya, kalau pak Wasito nekat menagih, salah-salah malah dianggap mengada-ada. Atau lebih parahnya lagi dituduh mencemarkan nama baik Pak Mulawarman.”
Dan Justru dalam cerpen ini anggota masyarakat (Wasito) tersakiti dan tidak mendapat ketidakadilan, ia semakin tertindas karena ia sama sekali tidak dapat membangun suatu aliansi antar warga untuk protes atas dasar penindasan dan ketidakadilan terhadap dirinya karena rasa kesolidaritasan antar sesama warga miskin malah tertutup oleh pengaruh hegemoni pemerintah sehingga warga lain memandang wasito sebagai pengahasut. seperti cuplikan cerpen berikut ketika Pak Lurah berusaha membuat warga lain untuk tidak percaya terhadap Wasito.
“Apa Pak Wasito punya bukti”
Wasito terdiam. Kalau sudah sampai urusan bukti ia menyerah. Dan buntut dari sikapnya ini gampang ditebak. Pak Dirgono melaporkan semuanya kepada Pak Lurah. Pak Lurah pun segera memberikan peringatan keras pada Wasito dan bahkan meminta kepada seluruh warga desa supaya menjauhi Wasito agar “tidak terpengaruh oleh segala macam hasutanya”
Artinya Masyarakat yang pada awalnya memiliki pengetahuan yang sama tentang solidaritas kemanusiaan sebagai ideologi yang menyemen hubungan antar kelas berubah setelah kalah dengan hegemoni Pak Lurah terhadap mereka ditambah, rasa hormat yang lebih besar terhadap agen pemerintah dari pada Wasito yang hanya warga biasa.
Tema ini lahir berkaitan dengan latar sosial pemerintah orde baru yang menyangkut ungkapan “asal bapak senang”. Pemerintahan yang semena-mena terhadap rakyat miskin, tidak mempedulikan haknya, dan menutupi semua masalah dengan tindakan-tindakan represif terhadap warganya yang melawan, bahkan bila perlu mengerahkan agen-agen hegemoninya untuk mengkucilkan warganya yang tidak patuh dan merusak rencana pemerintah.
Dan klimaknya, mencari muka kepada masyarakat kalangan bawah dengan menghalalkan berbagai cara, baik dari popularitas, memperdengarkan visi dan misi yang toh pada akhirnya tidak terlaksana. Seperti yang dilakukan Mulawarman dengan mendatangi desa-desa dengan tujuan politik menarik simpati warga. Karena memang dalam cerita disebutkan bahwa Dia sebentar lagi akan menjadi calon gubernur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar