Analisis
cerpen Orang Besar karya Jujur Prananto berdasarkan Metode
Strukturalisme Goldmann
1. Pandangan
Dunia Diskriminatif dalam ruang lingkup Hak Asasi Manusi : Analisis Struktur
Cerpen
Dalam cerpen ini dapat dirumuskan suatu hal yang
sangat kental diungkapkan dan diceritakan, sebagai asumsi
yg menjadi pangkal permasalahan yang ada, yaitu mengenai Diskriminatif (pembedaan perlakuan terhadap
sesama warga negara, yang dalam cerpen ini mengenai dikriminasi status sosial dan
ekonomi).
Bahwa dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara hal demikian masih sering terjadi, khususnya di Indonesia pun masih
banyak peristiwa serupa, bahwa golongan atas terkadang menyepelekan golongan
bawah, seperti dari segi kepentingan, seperti halnya dalam cerpen yang
dianalisis berikut “Orang Besar” yang menyinggung ketidakadilanya aparatur pemerintah dalam
memperlakukan warganya. ada perbedaan perlakuan mencolok yang dilakukan, baik
terhadap golongan atas maupun bawah. Untuk itu, pandangan dunia
tentang diskriminatif dalam struktur karya sastra dengan struktur masyarakat
yang ada dalam cerpen tersebut, akan
coba diungkap.
Dalam cerita tersebut berawal dari ulasan cerita
bahwa, Keluarga Wasito dengan istrinya Sukini, menpunyai utang terhadap salah
satu aparatur desa Kabupaten Renges bernama Dirgono yang bekerja sebagai Carik.
Dirgono selalu datang kerumah Wasito untuk menagih utang, namun setiap kali ia
datang hasilnya nihil, dikarenakan yang dimintai utang, tidak mempunyai uang.
Suatu ketika Dirgono datang lagi, namun kali ini Warsito tanggap, karena disaat
itu juga ada kabar tentang akan datangnya seorang calon Bupati bernama
Mulawarman kedesanya, ini kabar gembira untuk Wasito. Karena kebetulan Calbup
tersebut juga mempunyai utang kepada Wasito. Jadi harapan Wasito dengan
datangnya beliau, adalah untuk bisa menagih utang untuk kemudian bisa melunasi
utangnya kepada Pak Dirgono.
Namun, tak lebih dari dua puluh empat jam setelah pertemuan dengan Pak Dirgono itu, secara mengejutkan Wasito dipanggil mengahadapi Pak Lurah. Dari cuplikan tersebut mulailah adanya interogasi pemeriksaan terhadap Warsito atas niatanya tersebut.
“Saya tidak berpikir sampai kesitu, Pak. Masa saya harus curiga
pada orang sebaik pak mulawarman.
Pak lurah, terdiam, sementara Wasito lama-lama merasa bahwa
sepertinya ia tengah diinterogasi.
Dari
cuplikan cerpen berikut inilah bahwa secara tegas seorang Lurah sebagai
pimpinan sekaligus pembina stabilitas politik (yang mungkin masa itu masa orde
baru) melakukan tindakan berupa diskriminasi pada warganya.
“Itulah!
Jangan menganggap pak mulawarman seperti yang dulu kita kenal, Beliau sekarang
sudah menjadi orang besar”
Begitu
juga perlakuan diskriminatif Pak Lurah pada cuplikan cerpen berikut :
“Nah,
sebagai pimpinan sekaligus Pembina stabilitas politik di desa ini, terus terang
saya tidak ingin terjadi, seorang calon bupati berkunjung kemari disambut
tagihan utang oleh seorang warga. Paham apa yang saya maksud?
Perlakuan
Diskriminatif juga dilakukan oleh Pak Carik Dirgono, seperti pada cuplikan
cerpen berikut :
“Sebagai
orang yang punya piutang, saya pasti senang Pak Wasito bisa segera melunasi. Tapi
sebagai aparat kelurahan, saya tegas –tegas melarang kalau Pak Wasito mendapat
uang pelunasan itu dengan mengganggu Pak Mulawarman. Sebab melihat kedudukan
yang dijabatnya sekarang, orang pasti tidak akan percaya kalau beliau punya
utang. Artinya kalau Pak Wasito nekad menagih, salah-salah malah dianggap
mengada-ada. Atau lebih parahnya lagi dituduh mencemarkan nama baik Pak
Mulawarman.”
Jelas
dalam cuplikan cerpen tersebut Pak Carik Dirgono dengan lantang membedakan
dirinya dengan Wasito, bahwa ia berhak menagih utang Wasito yang mempunyai
status sosial yang rendah dibanding dirinya, tetapi disatu pihak ia melarang
Wasito (representasi kaum ekonomi/ status social bawah) menagih utang kepada
Pak Mulawarman calon Bupati yang dianggapnya adalah Orang Besar.
Berbeda
jika Pak Wasito dibandingkan dengan Pak Mulawarman, yang begitu
diagung-agungkan karena ia sebagai “Orang Besar” seperti pemaknaan judul cerpen
ini, Orang Besar, atau orang yang sangat dihormati, Pejabat yang agung. Tapi bukankah
pemerintah yang bagaimanapun besarnya tetap mempunyai tugas utama yaitu
mensejahterakan, melindungi dan membantu yang lemah seperti Pak Wasito,inilah
yang tidak dilakukan oleh bawahan orang besar tersebut yaitu Pak Lurah dan Cariknya,
yang justru mereka acuh, dan mementingkan kepentingannya sendiri sebagai warga
sekaligus aparatur pemerintah.
Dalam
hal yang lain, Wasito sebagai tokoh hero problematik yang mengatasi dunianya
yang terdegradasi, mencoba menyelesaikan urusan utang piutang yang sedang
menimpanya. Ia mempunyai pandangan bahwa, ia sedikit tidak percaya dengan
ucapan Pak Lurah, bahwa Pak Mulawarman tidak seperti yang dulu ia kenal, karena
ia sekarang sudah menjadi orang besar. Ia tak yakin bahwa Pak Mulawarman
berubah hanya karena ia sudah menjadi orang besar. Padahal jika ia mengingat
dulu Pak Mulawarman terkesan seorang pemimpin yang andal sekaligus mempunyai rasa
kemanusiaan dan tanggung jawab yang tinggi. Ia ingat betul bahwa beliau adalah
sosok orang yang sangat tanggap,tidak suka menyepelekan sesuatu, respek, tidak
suka membeda-bedakan terhadap orang yang dikenalnya. Seperti ketika ada tokoh
figuran yang terluka karena terkena bom, ia tetap memberi santunan tanpa
membeda-bedakan apakah ia tokoh utama atau tokoh santunan selain itu kepedulianya
terwujud pada sikap keseharianya yang memang selalu dekat dengan mereka tanpa
adanya kesan bahwa Pak Mulawarman pengetahuanya lebih besar.
Di
situlah kondisi hubungan dan pandangan tokoh Wasito yang kompleks antara tokoh
utama dengan dirinya (internal) dan tokoh utama dengan orang lain (eksternal)
mengalami persoalan.
Tetapi
akhirnya ia sadar pandangan bahwa sosok Mulawarman tidak akan melupakan
pembayaran utang-untang hanya sebagai ucapan belaka, ia memang menyinggung
tentang urusan utang pada Wasito, dan ini menunjukan bukti bahwa ia tidak lupa
terhadap hutangnya, tetapi utangya tersebut diungkapkann tanpa adanya realisasi
pembayaran yang nyata. Tidak ada perwujudan yang nyata. Sehingga pandangan
bahwa Pak Mulawarman, orang yang tidak berubah walaupun menjadi orang besar,
tetap peduli, tidak membeda-bedakan dan pandagan akan melunasi utangnya tidak
sesuai dengan pandangan tokoh Wasito padanya.
Akhirnya
dapat disimpulakan ketika seorang sudah menjadi orang yang besar ia bisa saja
berubah, dan tidak lagi mementingkan hal-hal yang kecil seperti yang mungkin
dianggap olek pak Mulawarman uang utang itu hal yang kecil baginua, tetapi
sebenarnya bagi Wasito itu adalah suatu hal yang sangat bernilai untuknya.
Bukti
bahwa uang utang itu sangat berharga untuk Wasito, dibuktikan dengan cuplikan cerpen
berikut :
“Memang,
Pak. Kurang-lebih dua tahun yang lalu. Sebenarnya saya tidak pernah
mengingat-ingat secara sungguh-sungguh perkara ini. Tapi terus terang giliran
saya butuh, piutang saya ini menjadi tabungan yang sangat berharga.”
2. Pandangan Dunia Diskriminasi sebagai
Struktur Cerpen dengan Struktur Masyarakat
Pengertian diskriminasi dalam ruang
lingkup hukum hak asasi manusia Indonesia (human rights law) dapat dilihat
dalam Pasal 1 Ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
berbunyi, “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan
yang langsung atau tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar
agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi,
jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan,
penyimpangan, atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak
asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun
kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek
kehidupan lainnya”.
Di
sinilah terlihat cerpen ini menawarkan sebuah kasus yang coba diungkap dalam
sebuah cerpen berjudul “Orang Besar” Karya Jujur Pranato, bahwa diskriminatif
masih terjadi dalam konteks kewarganegaraan, penulis mencoba mengungkapkan
peristiwa-peristiwa atau pun praktek-praktek yang terjadi. Penulis berhasil
mengangkat dan menyerap struktur persoalan dalam kehidupan bernegara dan bahkan
langsung menyinggung hak manusia terhadap apa yang memang haknya, seperti dalam
cerpen “Orang besar”. Seperti ketika Pak
Wasito menagih utang kepada calon bupati dan dilarang, tentu ini salah satu
pelanggaran hak asasi manusia. Karena apa yang dilakukan Wasito hanyalah mencoba
meminta haknya.
Dalam cerpen inilah
kemudian Jujur Prananto membuat konsep pandangan dunia diskriminatif sebagai
usaha untuk mengungkap kejanggalan, ketidakadilan untuk kemudian membangun
struktur kehidupan dalam berkewarganegaraan menjadi lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar