Translate

Senin, 16 Desember 2013

Analisis cerpen berdasarkan Metode Strukturalisme Goldmann



Analisis cerpen  Orang Besar  karya Jujur Prananto berdasarkan Metode Strukturalisme Goldmann

1.      Pandangan Dunia Diskriminatif dalam ruang lingkup Hak Asasi Manusi : Analisis Struktur Cerpen
Dalam cerpen ini dapat dirumuskan suatu hal yang sangat kental diungkapkan dan diceritakan, sebagai asumsi yg menjadi pangkal permasalahan yang ada, yaitu mengenai  Diskriminatif (pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara, yang dalam cerpen ini mengenai dikriminasi status sosial dan ekonomi).
Bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hal demikian masih sering terjadi, khususnya di Indonesia pun masih banyak peristiwa serupa, bahwa golongan atas terkadang menyepelekan golongan bawah, seperti dari segi kepentingan, seperti halnya dalam cerpen yang dianalisis berikut “Orang Besar” yang menyinggung  ketidakadilanya aparatur pemerintah dalam memperlakukan warganya. ada perbedaan perlakuan mencolok yang dilakukan, baik terhadap golongan atas maupun bawah. Untuk itu, pandangan dunia tentang diskriminatif dalam struktur karya sastra dengan struktur masyarakat yang ada dalam cerpen tersebut,  akan coba diungkap.

Dalam cerita tersebut berawal dari ulasan cerita bahwa, Keluarga Wasito dengan istrinya Sukini, menpunyai utang terhadap salah satu aparatur desa Kabupaten Renges bernama Dirgono yang bekerja sebagai Carik. Dirgono selalu datang kerumah Wasito untuk menagih utang, namun setiap kali ia datang hasilnya nihil, dikarenakan yang dimintai utang, tidak mempunyai uang. Suatu ketika Dirgono datang lagi, namun kali ini Warsito tanggap, karena disaat itu juga ada kabar tentang akan datangnya seorang calon Bupati bernama Mulawarman kedesanya, ini kabar gembira untuk Wasito. Karena kebetulan Calbup tersebut juga mempunyai utang kepada Wasito. Jadi harapan Wasito dengan datangnya beliau, adalah untuk bisa menagih utang untuk kemudian bisa melunasi utangnya kepada Pak Dirgono.

         Namun,  tak lebih dari dua puluh empat jam setelah pertemuan dengan Pak Dirgono itu, secara mengejutkan Wasito dipanggil mengahadapi Pak Lurah. Dari cuplikan tersebut mulailah adanya interogasi pemeriksaan terhadap Warsito atas niatanya tersebut.

“Saya tidak berpikir sampai kesitu, Pak. Masa saya harus curiga pada orang sebaik pak mulawarman. 
Pak lurah, terdiam, sementara Wasito lama-lama merasa bahwa sepertinya ia tengah diinterogasi.

Dari cuplikan cerpen berikut inilah bahwa secara tegas seorang Lurah sebagai pimpinan sekaligus pembina stabilitas politik (yang mungkin masa itu masa orde baru) melakukan tindakan berupa diskriminasi pada warganya.
“Itulah! Jangan menganggap pak mulawarman seperti yang dulu kita kenal, Beliau sekarang sudah menjadi orang besar”
Begitu juga perlakuan diskriminatif Pak Lurah pada cuplikan cerpen berikut :
“Nah, sebagai pimpinan sekaligus Pembina stabilitas politik di desa ini, terus terang saya tidak ingin terjadi, seorang calon bupati berkunjung kemari disambut tagihan utang oleh seorang warga. Paham apa yang saya maksud?
Perlakuan Diskriminatif juga dilakukan oleh Pak Carik Dirgono, seperti pada cuplikan cerpen berikut :
“Sebagai orang yang punya piutang, saya pasti senang Pak Wasito bisa segera melunasi. Tapi sebagai aparat kelurahan, saya tegas –tegas melarang kalau Pak Wasito mendapat uang pelunasan itu dengan mengganggu Pak Mulawarman. Sebab melihat kedudukan yang dijabatnya sekarang, orang pasti tidak akan percaya kalau beliau punya utang. Artinya kalau Pak Wasito nekad menagih, salah-salah malah dianggap mengada-ada. Atau lebih parahnya lagi dituduh mencemarkan nama baik Pak Mulawarman.”
Jelas dalam cuplikan cerpen tersebut Pak Carik Dirgono dengan lantang membedakan dirinya dengan Wasito, bahwa ia berhak menagih utang Wasito yang mempunyai status sosial yang rendah dibanding dirinya, tetapi disatu pihak ia melarang Wasito (representasi kaum ekonomi/ status social bawah) menagih utang kepada Pak Mulawarman calon Bupati yang dianggapnya adalah Orang Besar.
Berbeda jika Pak Wasito dibandingkan dengan Pak Mulawarman, yang begitu diagung-agungkan karena ia sebagai “Orang Besar” seperti pemaknaan judul cerpen ini, Orang Besar, atau orang yang sangat dihormati, Pejabat yang agung. Tapi bukankah pemerintah yang bagaimanapun besarnya tetap mempunyai tugas utama yaitu mensejahterakan, melindungi dan membantu yang lemah seperti Pak Wasito,inilah yang tidak dilakukan oleh bawahan orang besar tersebut yaitu Pak Lurah dan Cariknya, yang justru mereka acuh, dan mementingkan kepentingannya sendiri sebagai warga sekaligus aparatur pemerintah.
Dalam hal yang lain, Wasito sebagai tokoh hero problematik yang mengatasi dunianya yang terdegradasi, mencoba menyelesaikan urusan utang piutang yang sedang menimpanya. Ia mempunyai pandangan bahwa, ia sedikit tidak percaya dengan ucapan Pak Lurah, bahwa Pak Mulawarman tidak seperti yang dulu ia kenal, karena ia sekarang sudah menjadi orang besar. Ia tak yakin bahwa Pak Mulawarman berubah hanya karena ia sudah menjadi orang besar. Padahal jika ia mengingat dulu Pak Mulawarman terkesan seorang pemimpin yang andal sekaligus mempunyai rasa kemanusiaan dan tanggung jawab yang tinggi. Ia ingat betul bahwa beliau adalah sosok orang yang sangat tanggap,tidak suka menyepelekan sesuatu, respek, tidak suka membeda-bedakan terhadap orang yang dikenalnya. Seperti ketika ada tokoh figuran yang terluka karena terkena bom, ia tetap memberi santunan tanpa membeda-bedakan apakah ia tokoh utama atau tokoh santunan selain itu kepedulianya terwujud pada sikap keseharianya yang memang selalu dekat dengan mereka tanpa adanya kesan bahwa Pak Mulawarman pengetahuanya lebih besar.
Di situlah kondisi hubungan dan pandangan tokoh Wasito yang kompleks antara tokoh utama dengan dirinya (internal) dan tokoh utama dengan orang lain (eksternal) mengalami persoalan.
Tetapi akhirnya ia sadar pandangan bahwa sosok Mulawarman tidak akan melupakan pembayaran utang-untang hanya sebagai ucapan belaka, ia memang menyinggung tentang urusan utang pada Wasito, dan ini menunjukan bukti bahwa ia tidak lupa terhadap hutangnya, tetapi utangya tersebut diungkapkann tanpa adanya realisasi pembayaran yang nyata. Tidak ada perwujudan yang nyata. Sehingga pandangan bahwa Pak Mulawarman, orang yang tidak berubah walaupun menjadi orang besar, tetap peduli, tidak membeda-bedakan dan pandagan akan melunasi utangnya tidak sesuai dengan pandangan tokoh Wasito padanya.
Akhirnya dapat disimpulakan ketika seorang sudah menjadi orang yang besar ia bisa saja berubah, dan tidak lagi mementingkan hal-hal yang kecil seperti yang mungkin dianggap olek pak Mulawarman uang utang itu hal yang kecil baginua, tetapi sebenarnya bagi Wasito itu adalah suatu hal yang sangat bernilai untuknya.
Bukti bahwa uang utang itu sangat berharga untuk Wasito, dibuktikan dengan cuplikan cerpen berikut :
“Memang, Pak. Kurang-lebih dua tahun yang lalu. Sebenarnya saya tidak pernah mengingat-ingat secara sungguh-sungguh perkara ini. Tapi terus terang giliran saya butuh, piutang saya ini menjadi tabungan yang sangat berharga.”
2.      Pandangan Dunia Diskriminasi sebagai Struktur Cerpen dengan Struktur Masyarakat
Pengertian diskriminasi dalam ruang lingkup hukum hak asasi manusia Indonesia (human rights law) dapat dilihat dalam Pasal 1 Ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi, “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya”.
Di sinilah terlihat cerpen ini menawarkan sebuah kasus yang coba diungkap dalam sebuah cerpen berjudul “Orang Besar” Karya Jujur Pranato, bahwa diskriminatif masih terjadi dalam konteks kewarganegaraan, penulis mencoba mengungkapkan peristiwa-peristiwa atau pun praktek-praktek yang terjadi. Penulis berhasil mengangkat dan menyerap struktur persoalan dalam kehidupan bernegara dan bahkan langsung menyinggung hak manusia terhadap apa yang memang haknya, seperti dalam cerpen  “Orang besar”. Seperti ketika Pak Wasito menagih utang kepada calon bupati dan dilarang, tentu ini salah satu pelanggaran hak asasi manusia. Karena apa yang dilakukan Wasito hanyalah mencoba meminta haknya.
Dalam cerpen inilah kemudian Jujur Prananto membuat konsep pandangan dunia diskriminatif sebagai usaha untuk mengungkap kejanggalan, ketidakadilan untuk kemudian membangun struktur kehidupan dalam berkewarganegaraan menjadi lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar